Rabu, 13 Juli 2005 - 06:28 AM
Nabire, Sepuluh helikopter swasta parkir di landasan sebelah barat Bandara Nabire setiap hari antara pukul 12.00-05.00 WIT. Helikopter berkapasitas penumpang 3-13 orang ini dicarter para pengusaha emas Nabire dengan nilai miliaran rupiah untuk mendulang emas di Sungai Degewo, Distrik Siriwo, sekitar 150 km arah selatan Nabire.
Pengamatan Kompas di Nabire beberapa waktu lalu, helikopter tersebut setiap hari masuk keluar Siriwo membawa pendulang emas, kebutuhan pokok, bahan bakar minyak, dan pengusaha. Harga tiket Rp 3 juta per orang menuju Siriwo, sementara tiket pulang dari Siriwo Rp 1,5 juta per orang. Perjalanan ditempuh 30 menit.
Tidak mudah bertemu para pengusaha emas di Nabire. Kompas yang berusaha bertemu Marzuki dilarang oleh istrinya yang menjual emas di pasar Oyehee, Nabire. Alasannya, Bapak tidak terima wartawan, kecuali anak buahnya.
Tidak semua orang boleh ke Siriwo kecuali yang berkepentingan mendulang: menggali, mengayak pasir, dan mengebor tanah, dan hasilnya dijual kepada pengusaha emas.
Siriwo yang merupakan pemekaran Distrik Napan terdiri dari 34 kampung dengan penduduk asli sekitar 1.700 orang. Di Siriwo terdapat 22 helipad, kios milik pengusaha tersebar di 27 lokasi, mesin pengering air dan pengebor tanah yang disebut alkon 167.000 unit, pendulang yang tidak memiliki kartu dulang 25.000 orang.
Seruli adalah salah satu dari 15 pengusaha emas di Siriwo. Ia juga menjual kebutuhan pokok. Pria yang ditemui di Hotel Marassi Biak itu mengaku hendak ke Makassar melakukan negosiasi penjualan emas Siriwo. Ia ditawari dana Rp 2 miliar oleh pengusaha emas di Makassar untuk menambang emas di Siriwo. Ia harus bekerja sama dengan pengusaha emas di Nabire, termasuk pemilik tanah ulayat.
Menurut Seruli, sepanjang aliran Sungai Degewo sekitar 230 km dari hulu ke hilir terdapat potensi emas luar biasa. Kandungan emas 99 persen dengan 24 karat.
Daerah sepanjang aliran sungai dikapling-kapling oleh para pengusaha. Ada sekitar 34 areal kaplingan dengan luas 20–200 hektar. Misalnya, lokasi Bayubiru, Minibiru, Fambo, Dandim, Koteka, Tugipigeya, Anoga, Damai, Amole, dan lokasi Ninja.
Marzuki dan Adi Tiarman adalah pemilik lahan emas terbesar di Siriwo dengan luasan 150 hektar dan 200 hektar. Lahan dibeli dari masyarakat adat dengan harga Rp 5 juta-Rp 10 juta per hektar.
Menurut Seruli, keuntungan pengusaha bisa mencapai Rp 100 miliar per tahun, terutama pengusaha besar. Ini keuntungan bersih, tidak termasuk modal usaha, kontrak helikopter, dan lainnya, katanya.
Penuh konflik
Sejarah pendulangan emas di Nabire berawal dari Distrik Topo sekitar 40 km dari Nabire sejak tahun 1994-2002. Berbagai suku pendatang ada di tempat itu, terutama warga Sulawesi Utara, Kalimantan, Bugis, Buton, Maluku, dan Makassar.
Di Siriwo, awalnya masyarakat diminta mendulang emas kemudian ditukar dengan bahan pokok. Tak ada takaran khusus, hanya ada kesepakatan lisan.
Sejak pengusaha mulai marak mendatangi Siriwo pada pertengahan tahun 2003, kerap terjadi konflik di lapangan. Misalnya, kasus perampasan 1 kg emas dan uang tunai oleh pemilik hak ulayat dari tangan warga suku Dani (Paniai) yang dinilai menggarap lahan emas tanpa izin. Hampir terjadi perang suku antara para pendulang emas, warga setempat, dengan pemilik hak ulayat.
Kepala Distrik Siriwo, Marutto, mengeluhkan persoalan yang muncul seputar pendulangan emas. Pendulangan ini sangat rawan dengan konflik.
Penduduk asli merasa dirugikan oleh pengusaha dari luar yang menguasai lahan pendulangan. Konflik juga terjadi antarpekerja atau antarpengusaha.
Untuk mencegah konflik, Ketua DPRD Nabire Daniel Butu mendesak pengusaha keluar dari Siriwo. Meski masyarakat butuh kehadiran pengusaha, tetapi perlu diatur sehingga tidak merusak lingkungan, tidak merusak tempat-tempat keramat, dan tidak merugikan masyarakat dari sisi ekonomi, sosial, dan budaya. (KORNELIS KEWA AMA)
(sumber: kompas)