Filosofi Biji Sesawi dan Ragi
Senin, 27 Juli 2020 – Hari Biasa Pekan XVII
Matius 13:31-35
Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: “Hal Kerajaan Surga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar daripada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.”
Dan Ia menceriterakan perumpamaan ini juga kepada mereka: “Hal Kerajaan Surga itu seumpama ragi yang diambil seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir seluruhnya.”
Semuanya itu disampaikan Yesus kepada orang banyak dalam perumpamaan, dan tanpa perumpamaan suatu pun tidak disampaikan-Nya kepada mereka, supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi: “Aku mau membuka mulut-Ku mengatakan perumpamaan, Aku mau mengucapkan hal yang tersembunyi sejak dunia dijadikan.”
***
Biji sesawi dan ragi adalah dua benda kecil yang kelihatan sepele, tetapi mempunyai makna filosofis yang dalam.
Pertama, biji sesawi. Yesus menggambarkan perubahan biji sesawi secara kontras untuk menekankan filosofi sesawi itu sendiri. Sesawi adalah simbol dari ketekunan dan komitmen. Pertumbuhan sesawi menunjukkan bahwa potensi sekecil apa pun bisa menjadi besar apabila ditekuni dengan penuh komitmen.
Kita perlu tekun mengembangkan potensi-potensi kita. Kita perlu mengasahnya terus-menerus sampai mencapai titik maksimal. Ketekunan juga berarti bertahan dalam tantangan dan tekanan. Orang tekun selalu berusaha mengatasi masalahnya. Ketekunan selalu mengisyaratkan komitmen. Komitmen adalah sikap memegang teguh janji, prinsip, atau kesepakatan. Orang bisa tekun kalau ia berkomitmen terhadap janjinya. Ia tidak terbuai ataupun menyerah saat menghadapi tantangan. Cobalah perhatikan para peneliti dan penemu, seperti Marie Curie, Thomas Alva Edison, Wright bersaudara, dan Alexander Graham Bell.
Kedua, ragi. Mereka yang hobi membuat penganan pasti akrab dengan benda kecil ini. Ragi berfungsi mengembangkan adonan, serta membentuk aroma dan rasa, sehingga roti yang dihasilkan empuk dan menggugah selera. Ragi hanya berfungsi kalau dicampurkan ke dalam adonan, sebab akan mengubah adonan itu dari dalam. Yesus menggunakan ragi untuk menunjukkan bahwa kematangan selalu berawal dari perubahan batiniah. Itulah filosofi ragi.
Kalau ingin mengembangkan potensi, baiklah kita mengawalinya dengan mengubah batin. Caranya, kita harus mengubah cara pandang, memurnikan motivasi, menata perasaan-perasaan, serta memperkuat kehendak. Hal ini memang tidak mudah. Lawan terbesar kita bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri. Namun, tidak ada jalan lain selain mengalahkan diri sendiri. Kalau kita bisa mengubah batin, hal-hal lahiriah seperti tutur kata, ekspresi, dan tata laku kita pun akan turut berubah.
Saudara-saudari terkasih, ketekunan dan komitmen mungkin adalah kualitas alamiah seseorang. Namun, setiap orang dimungkinkan untuk memilikinya kalau mau sungguh mengolah batin. Ketekunan dan komitmen juga adalah buah dari olah batin. Kalau kita melakukannya, niscaya kita akan berkembang dengan pesat.