Rabu, 13 Juli 2005 - 06:31 AM
Nabire, Pendulangan emas di Siriwo, Kabupaten Nabire, Papua, sejak 2002 melahirkan sejumlah persoalan sosial. Tidak ada payung hukum bagi masyarakat adat pemilik lokasi seluas sekitar 120 km itu yang dikuasai pengusaha dari Nabire dan Timika.
Emas yang diburu karena membawa keuntungan itu berbuntut pada persoalan yang sangat kompleks. Masyarakat asli yang melakukan pendulangan lebih dari tiga tahun itu tidak mendapat keuntungan sama sekali. Sementara sebagian lokasi penambangan telah dirusak dan dihancurkan.
Ketua Badan Pengurus Musyawarah Masyarakat Pemilik Dusun Adat Miyokepi dan Deneidago, Siriwo, Yulianus Tagi beberapa waktu lalu mengatakan wilayah di perbatasan antara Kabupaten Paniai dan Kabupaten Nabire itu selama ini tidak diperebutkan. Masyarakat perbatasan tetap rukun saling menghormati hak ulayat masing-masing.
Mereka berburu dan mencari makan di areal masing-masing tanpa konflik. Namun, setelah daerah itu dikapling para pengusaha, konflik dan permusuhan sering terjadi. Masyarakat menilai mereka paling berhak memiliki lokasi itu meski telah dijual kepada pengusaha. Mereka menilai cara yang dilakukan para pengusaha tidak membantu penduduk lokal.
Menurut Tagi, meski para pengusaha membeli lokasi tersebut dengan harga sampai miliaran rupiah untuk 200-300 hektar lahan, uang sebesar Rp 1 miliar itu tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Harga bahan pokok yang dijual para pengusaha emas di lokasi itu sampai mencapai 2.000 persen lebih mahal dibandingkan dengan harga barang yang sama di Nabire. Akhirnya uang tersebut kembali ke tangan pengusaha.
Jika kami berbelanja ke Nabire pun sebagian besar dari pemasukan kami tetap lari ke tangan para pengusaha karena ongkos angkut dengan helikopter Rp 40.000 per kilogram, selain harga tiket Rp 3 juta per orang. Upaya-upaya ini hanya untuk membodohi masyarakat asli dan mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi pengusaha emas, kata Tagi.
Tidak ada satu lembaga pun yang mengoordinasi atau membina masyarakat asli dalam mengelola dana-dana yang diperoleh dari hasil penjualan emas dan lokasi emas tersebut. Ketika pendulangan emas berhenti, masyarakat pun kembali miskin, dan kemiskinan itu jauh lebih parah dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.
Kerusakan lingkungan
Sumber-sumber bahan makanan mereka seperti Sungai Degewo tempat mencari ikan, udang, dan belut telah hancur. Gunung, bukit, dan lembah yang selama ini sebagai tempat berburu, tempat tumbuh pisang, umbi-umbian, dan makanan hutan lain telah hilang. Lokasi itu telah berubah menjadi terowongan, lubang yang dalam, genangan air, dan longsoran yang mudah terjadi di sejumlah tempat.
Sementara itu pengusaha emas lari meninggalkan lokasi tersebut tanpa bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi. Mereka telah mengeruk keuntungan besar dari lokasi itu, tetapi tidak pernah berpikir untuk menghijaukan kembali lokasi tersebut. Derita panjang bakal dihadapi masyarakat setempat, termasuk generasi yang akan datang.
Menyadari dampak yang bakal dihadapi, sejumlah penduduk asli mendatangi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nabire di Nabire. Sejak 2002-April 2005 tercatat lima kali masyarakat Siriwo menyampaikan aspirasi mereka kepada DPRD Nabire. Demonstrasi terakhir terjadi pada 31 Maret 2005. Mereka meminta DPRD setempat memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pemilik hak ulayat terkait pendulangan emas di Siriwo.
Ketua DPRD Nabire Daniel Butu kemudian memanggil instansi terkait seperti dinas pertambangan dan industri, dinas kehutanan, dan instansi terkait lainnya. Dalam pertemuan itu terungkap bahwa para pengusaha emas itu masuk Siriwo secara liar, tanpa mengantongi izin dari instansi berwenang seperti surat izin penambangan emas (SIPE) sebagaimana tertera di dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 14 Tahun 2003.
Izin bupati
Sementara itu, pihak pengusaha mengatakan telah memiliki izin resmi dari Bupati Nabire berupa surat permohonan kepada PT Traveira Air untuk mengoperasikan helikopter di Nabire. Ternyata, surat itu digunakan pengusaha untuk beroperasi di Siriwo.
Surat itu pula yang selalu ditunjukkan kepada penduduk asli ketika terjadi konflik di lapangan. Butu kemudian meminta agar untuk sementara penerbangan helikopter ke Siriwo ditangguhkan.
Kepala Suku Besar Siriwo Obeth Tenoye dalam suratnya yang ditujukan kepada para pengusaha di Siriwo antara lain menyebutkan, Perda Nomor 14 Tahun 2003 mewajibkan pengusaha emas melakukan pembayaran hak ulayat, pembayaran pembangunan kampung, retribusi distrik, dan penyetoran sebagai kas negara ke pemda Nabire. Selama ini para pengusaha menerobos masuk tanpa izin dari pemilik dusun.
Peraturan daerah tersebut menyebutkan, jika tidak memenuhi kewajibannya, pengusaha akan dikenai sanksi kurungan lima bulan penjara atau denda Rp 5 juta. Meski melanggar perda, sanksi tersebut tidak pernah diberikan kepada para pengusaha. Perda itu tidak pernah dilaksanakan dalam praktik di lapangan.
Para pengusaha tersebut bertindak demikian karena ada oknum aparat keamanan yang berdiri di balik para pengusaha itu. Mereka memberi peluang dan memberi dukungan kepada para pengusaha. Pemerintah daerah setempat pun tidak tegas dalam mengamankan perda itu, kata Tenoye.
Oleh: KORNELIS KEWA AMA
(sumber: kompas)