Ok

By continuing your visit to this site, you accept the use of cookies. These ensure the smooth running of our services. Learn more.

- Page 2

  • Police acquitted of rights abuses in Papua

    Last Update: Saturday, September 10, 2005. 9:21pm (AEST)

    An Indonesian human rights court has acquitted two senior police officers accused of rights abuses in Papua Province five years ago.

    The judges ruled a that senior commissioner was not guilty of allowing his subordinates to torture and kill civilians during a raid on student dormitories in December 2000.

    The same court earlier cleared a local military commander of similar charges.

    One of five judges who presided over the case gave a dissenting opinion.

    He said he believed it was clear that the two defendants were guilty, either by commission or through omission.

    Amnesty International has said the acquittals demonstrated the failure of Indonesia's justice system.

     

    Sumber :  http://www.abc.net.au/news/newsitems/200509/s1457604.htm

    Last Updated 11/09/2005, 09:14:44
    Select text size:  
    Medium size textNormal size text

    An Indonesian human rights court has acquitted two senior police officers accused of rights abuses in the easternmost province of Papua five years ago.

    Judges ruled the Senior Commissioner not guilty of allowing his subordinates to torture and kill civilians during a raid on student dormitories at Abepura in December 2000.

    The same court also cleared the then local commander of the paramilitary police, of similar charges.

    One of five judges, Kabul Supriyadi, says he is the only dissenting opinions on the verdicts.

    He says he believes the two defendants are guilty, either by commission or through omission.

    Amnesty International says the acquittals demonstrate the failure of Indonesia's justice system.
     
    Sumber : http://www.abc.net.au/ra/news/stories/s1457585.htm 

     

  • China to Invest US$1 Billion in Fishery Sector

    National

    China to Invest US$1 Billion in Fishery Sector
    Friday, 09 September, 2005 | 11:27 WIB

    TEMPO Interactive, Jakarta:Chinese businessmen have made a commitment to invest in the fishery sector in Indonesia.

    “Total investment will amount to US$1 billion,” said Freddy Numberi, Minister of Fisheries and Maritime Affairs, at his office on Thursday (08/09).

    Assurances regarding the investment were made during a recent visit made by Numberi to the People’s Republic of China (PRC) together with Vice President Jusuf Kalla.

    Investment amounting to US$200 million will be made in Merauke, US$300 million in Terrnate and US$300 in Tual, with the remainder in other regions.

    Numberi said that the cooperation made by the Chinese and Indonesian governments had not fully benefited
    Indonesia up to now, as only issued licenses for fishing in Indonesia.

    The fish are then exported abroad.

    With foreign investment in the fishery sector, fish will be processed in Indonesia. (Sutarto-Tempo News Room)Friday, 09 September, 2005 | 11:27 WIB

    TEMPO Interactive, Jakarta:Chinese businessmen have made a commitment to invest in the fishery sector in Indonesia.

    “Total investment will amount to US$1 billion,” said Freddy Numberi, Minister of Fisheries and Maritime Affairs, at his office on Thursday (08/09).

    Assurances regarding the investment were made during a recent visit made by Numberi to the People’s Republic of China (PRC) together with Vice President Jusuf Kalla.

    Investment amounting to US$200 million will be made in Merauke, US$300 million in Terrnate and US$300 in Tual, with the remainder in other regions.

    Numberi said that the cooperation made by the Chinese and Indonesian governments had not fully benefited
    Indonesia up to now, as only issued licenses for fishing in Indonesia.

    The fish are then exported abroad.

    With foreign investment in the fishery sector, fish will be processed in Indonesia. (Sutarto-Tempo News Room)
    Sumber : http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2005/09/09/brk,20050909-66364,uk.html
  • Ex-President Joint Student Demo Outside Presidential Palace

    Jakarta (ANTARA News) - Former President Abdurrahman Wahid along with hundreds of university students staged a demonstration outside the presidential palace here Friday to protest several government policies.

    ANTARA reported they protested the government`s plan to raise fuel oil prices and the Helsinki agreement signed by the Indonesian government and the Free Aceh Movement (GAM).

    Wahid or who is popularly called Gus Dur took part in the rally seated in a wheel-chair. He suffered s stroke at least two times in the past.

    Speaking with reporters. Gus Dur said the protest was not aimed at anybody nor was it an opposition movement. What the demonstrators wanted was to express their rejection of the peace agreement signed by the government and GAM in Helsinki on Aug 15. Gus Dur said the peace pact would only pave the way for Aceh to become an independent state.

    He also said if Aceh becomes an independent country six other provinces and areas, namely North Sulawesi, Minahasa, Maluku, North Maluku, East Kalimantan, and Papua would follow suit.

    Police kept guard over the demonstration which was held in conjunction with President Susilo Bambang Yudhoyono`s 56th birthday.

    Jakarta Police Chief Inspector Gen Firman Gani was also present to secure the protest.

    Echie, a protestor who was also spokesman of University of Indonesias Students Action Front, said the government`s plan to raise fuel oil prices again would trigger a spiral in the prices of basic commodities which in the long run would worsen the people`s life.(*)


    LKBN ANTARA Copyright © 2005 Terms of Use

    Sumber http://www.antara.co.id/en/seenws/?id=6200

  • US, Indonesia almost back in step

    Ada yang ingin mau baca berita yang apa aja termasuk di dalam bahasa inggris silahkan download aja di bawah in  us_indonesia_inportent_papua.txt 

    JIAK

  • Pemerintah Perlu Segera Bentuk Majelis Rakyat Papua

    Kamis, 08 September 2005 - 06:24 AM
    Jakarta, Pemerintah sebaiknya segera membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP), untuk menyelesaikan masalah Papua.

    Kalau MRP sudah terbentuk, maka pemerintah tidak boleh intervensi dan campur tangan dalam kerja MRP dalam menyelesaikan masalah Papua. MRP akan merekomendasikan apa saja tentang masalah Papua kepada pemerintah.

    "Dan, pemerintah harus percaya kepada MRP. Tidak boleh ada buruk sangka," kata salah satu penasehat Forum Papua, Harry Tjan Silalahi dalam acara deklarasi Forum Papua di Jakarta, Selasa (6/9).

    Selain Harry, yang turut mendeklarasikan forum tersebut adalah Albert Hasibuan (Ketua), Marzuki Darusman (Wakil Ketua), HS Dillon (Wakil Ketua), Tommy Legowo, Zumrotin K Susilo, Asmara Nababan, Fajrul Falaakh, Faisal Basri, Ny Tuty Herati Nurhadi, Bara Hasibuan, Fikri Jufri, Rizal Sukma, Sabam Siagian, Romo J Budi Hernawan OFM (Jayapura), Wiryono, Shanti Poesposoetjipto dan Syafi'i Ma'arif (penasehat).

    Harry menegaskan, pembentukan MRP merupakan amanat konstitusi. "Saya yakin kalau MRP dibentuk dan kerjanya tidak diganggu pemerintah, maka masalah Papua, beres," kata Wakil Dewan Direktur Center for Strategic and International Studies (CSIS) itu.

    Dikatakan Harry, masyarakat Papua bergejolak sampai mengembalikan Otonomi Khusus Papua (otsus) yang didasarkan Undang-undang No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua kepada Pemerintah Pusat oleh Dewan Adat Papua (DAP), pada 12 Agustus 2005, karena pemerintah tidak memperlakukan mereka sebagai manusia.
    Mereka hidup melarat, padahal sumber daya alam mereka kaya. "Perlakukan mereka sebagai manusia, maka semua persoalan akan beres," kata dia.
    Menurut Harry, keanggotaan MRP itu hanya 42 orang, namun bisa merepresentasi semua pihak di Papua. Seperti ada tokoh agama, masyarakat dan tokoh perempuan. Hal senada dikatakan Sabam Siagian. Ia menegaskan, program jangka pendek Forum Papua adalah mendesak dibentuknya MRP. "Jangan dulu pikir yang lain. Kalau MRP sudah terbentuk baru memikirkan yang lain," kata Sabam.
    Menurut Sabam, penyelesaian masalah Papua oleh pemerintah selalu mengulur-ulur sejak pengakuan kedaulatan Kemerdekaan RI oleh Belanda, Desember 1949. Dalam pengakuan kedaulatan waktu itu, kata dia, Belanda mengakui bahwa wilayah Indonesia adalah semua wilayah jajahan Belanda, kecuali tanah Papua akan diselesaikan setahun kemudian.
    Namun, komitmen setahun itu tidak dilaksanakan pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia waktu mentargetkan penyelesaian Papua dalam waktu 12 tahun kemudian, namun gagal, sampai berakhirnya pemerintahan Soeharto. Untuk itu, tegas Sabam, sudah saatnyalah sekarang pemerintah menyelesaikan masalah Papua.
    Albert Hasibuan mengatakan, Forum Papua bertujuan untuk memajukan pengertian yang luas dan mendalam mengenai persoalan Papua kepada masyarakat Indonesia umumnya dan pemerintah khususnya. Selain itu, mengindentifikasi dan mengangkat persoalan-persoalan masyarakat Papua antara lain tuntutan keadilan dan perlindungan hak hidup.
    Dikatakan Albert, peristiwa pengembalian Otonomi Khusus Papua yang didasarkan Undang-undang No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua kepada Pemerintah Pusat oleh Dewan Adat Papua (DAP), pada 12 Agustus 2005, merupakan indikasi kekecewaan masyarakat Papua terhadap otonomi khusus Papua oleh Pemerintah Pusat yang dianggap kurang membawa kemajuan dan manfaat apa-apa. (E-8)


    (sumber: pembaruan)

  • Selesaikan Masalah Papua dan IJB, Tim Pusat Kembali ke Manokwari

    Kamis, 08 September 2005 - 06:22 AM

    Manokwari, Tim Kecil bentukan pemerintah pusat yang dipimpin Sekretaris Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Sesmenkopolhukam) Laksda TNI Djoko Sumaryono beranggotan pejabat Depdagri, Mabes Polri dan TNI kembali akan melakukan pertemuan dengan jajaran Pemerintah Provinsi Irian Jaya Barat.

    Pertemuan atau dialog yang direncanakan digelar di Gedung DPRD, Kamis (8/9) tidak saja dihadiri Pjt Gubernur IJB Timbul Pudjianto, Ketua DPRD IJB, Rektor Unipa Prof Dr Frans Wanggai, Hermus Indow yang merupakan tim kecil dari Prov IJB serta Ketua KPUD IJB Ny Regina Sauyai, tapi juga diharapkan kehadiran para bupati/wali kota, ketua DPRD dan anggota muspida kabupaten/kota se-Prov IJB.


    Pertemuan untuk mencari solusi terbaik antara tim kecil pemerintah pusat dan tim kecil Prov IJB mengenai sejumlah permasalah antara Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat terkait dengan pelaksanaan Pilkada serta pembentukan MRP (Majelis Rakyat Papua) ini merupakan yang kedua kalinya digelar di Manokwari. Dan diharapkan, Sesmenkopolhukam dan rombongan akan tiba di Manokwari pagi ini, Kamis (8/9) sekitar pukul 08.00 WIT dengan menumpang pesawat Merpati dari Jakarta.

    Kabag Humas Setdaprov IJB, Marthen Kaleb Suruan SH ketika dikonfirmasi Manokwari Pos, Rabu membenarkan rencana kedatangan tim kecil pemerintah pusat dipimpin Seskomenkopolhukam tersebut. Bahkan kemarin staf sekretariat DPRD IJB telah menyiapkan ruangan untuk digunakan sebagai tempat pertemuan. ''Ini ada radiogram dari Mendagri mengenai penugasan Seskomenkopolhukam untuk datang berdialog di Manokwari. Tempat sudah disiapkan,'' tukas Suruan.


    Radiogram Mendagri mengenai upaya penanganan masalah di Papua dan IJB berklarifikasi segera dengan nomor 094/2238/SJ itu ditujukan bukan saja untuk Pjt Gubernur Irian Jaya Barat tapi juga untuk Gubernur Papua, para bupati/walikota se Prov Papua dan IJB. Dalam radiogram itu disebutkan, tim pusat dipimpin Sesmenkopolhukam akan melakukan kunjungan kerja dalam rangka penanganan masalah Papua khususnya terkait dengan proses pembentukan MRP dan sosialisasi Otsus.

    Berdasarkan RDG Mendagri tersebut lanjut Kabag Humas, rombang Sesmenkopolhukam dalam upaya mencari solusi terbaik mengenai Papua, tidak saja melakukan pertemuan dengan jajaran Pemprov IJB di Manokwari, tapi juga dengan Pemprov Papua di Jayapura. Akan digelar tiga kali pertemuan secara berturut-turut, di Manokwari, Jayapura dan terakhir di Timika. (lm)

    (sumber: cepos)

  • Dana BOS di Papua Belum Disalurkan

    Kamis, 08 September 2005 - 06:13 AM

    Jayapura, Meski penyaluran dana Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) tahun 2005 ini, khusus untuk bidang pendidikan tersalur secara nasional sebesar 74 persen dari total dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp Rp 13,489 triliun, namun untuk di Papua belum tersalurkan.

    Belum tersalurkan dana BOS dan beasiswa untuk Papua sebesar Rp 55 miliar ini, menurut Kepala Dinas P dan P Provinsi Papua, Jery Haurissa SE, MM disebabkan karena permasalahan transportasi dan komunikasi, bahkan daerah-daerah pedalaman sampai saat ini belum diketahui penyalurannya melalui mana, sehingga menyebabkan terlambatnya pencairan dana BOS dan biasiswa tersebut.

    "Kita telah melakukan pertemuan dengan Kepala Dinas P dan P kabupaten/kota di Papua. Saya sudah minta kepala dinas untuk mengkoordinir sekolah-sekolah supaya persyaratan dan nomor rekening untuk segera dikasihkan ke kita. Disamping itu, keputusan gubernur mengenai Tim PKPS-BBM dalam proses, tapi kalau memang sudah ada, kita akan segera diselesaikan, sebab uangnya langsung diserahkan ke sekolah yang bersangkutan, bukan uangnya dibawa orang," ujar Haurissa di Gedung DPR Papua, Rabu (7/9) kemarin.

    Disamping itu, kata Haurissa, masih diperlukan penyesuaian data karena data yang dikeluarkan dari pusat berbeda dengan data yang ada di kabupaten/kota sendiri, sehingga perlu disesuaikan dengan kondisi di sekolah masing-masing.

    Ditanya berapa kabupaten yang sudah lengkap persyaratannya? Kepala Dinas P da P ini mengaku belum mengetahuinya secara persis karena sampai saat ini pihaknya belum menerima laporan ini, karena ada tim yang menangani hal ini. Hanya saja, pihaknya tidak menginginkan adanya orang yang mengeluarkan dana tersebut tanpa sepengetahuannya.

    Menurutnya, bagi kota/kabupaten yang sudah masuk, pihaknya langsung menyalurkan dana BOS sesuai dengan jatah yang ditetapkan.

    Diungkapkan, plafon dana untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Papua sebesar Rp 55 miliar, sudah termasuk dengan dana untuk biasiswa, bagi SD, SMP dan SMA/SMK.

    "Dana untuk PKPS BBM khususnya BOS ini, sudah ada disini. Saya sudah terima dia punya DIP dan Mendiknas sudah serahkan ke saya. Hanya saja, saya masih menunggu semua persyaratan dan rekening dari sekolah baru akan kita jalankan, disamping itu ada tim yang dibentuk dengan SK Gubernur untuk menyalurkan dana ini. Jadi, bukan saya kelola sesuai kemauan saya. Dan, saya memang sebagai pengguna anggaran, kuasa dari Mendiknas ke saya. Nanti, ada tim yang mengelola ini dan nanti saya tinggal mengontrolnya dengan Bawasda, Irjen, BPKP atau masyarakat ada pengaduan-pengaduan, ya saya serahkan untuk diperiksa," paparnya.

    Namun, yang jelas pihaknya siap mencairkan dana BOS tersebut untuk disalurkan ke sekolah-sekolah yang berhak menerima dan pihaknya menargetkan sampai akhir bulan September 2005 ini sudah selesai disalurkan melalui Bank BRI.

    Haurissa mengungkapkan, penerima dana BOS tersebut adalah murid yang ditentukan oleh masing-masing sekolah ditentukan Dinas P dan P kabupaten/kota, bukan pihaknya. Tetapi murid yang orangtuanya tergolong ekonomi lemah. Penerima dana BOS di Papua ini, ujar Haurissa, sebanyak 393.600-an siswa untuk SD, SMP sekitar ratusan ribu sedangkan untuk SMA tidak sampai seratus ribu.

    Lebih lanjut, besarnya dana yang diterima sesuai aturan adalah untuk SD sebesar Rp 235.000/siswa dalam setahun, sedangkan untuk SMP sebesar Rp 324.500/siswa dalam setahun. Jadi, uangnya bukan diserahkan ke anak, tetapi uangnya diserahkan kepada sekolah yang bersangkutan untuk dikelola dalam kepentingan proses belajar mengajar di sekolah secara keseluruhan.

    "Jadi, bukan diserahkan kepada siswa dananya, itu dikeliru. Artinya, sekolah punya dana operasional sebesar itu dan yang dikelola sekolah tersebut, dan ini diketahui kepala sekolah, jika pelaksanaannya tidak sesuai maka dia bisa dihukum," jelasnya.

    Disamping itu, katanya, pada waktu dana ini sudah berjalan maka tidak boleh ada pungutan-pungutan lagi dan tahun 2006 nantinya dana BOS tersebut langsung akan keluar melalui dana Dekon, sehingga pihaknya akan mendata secara baik sekolah-sekolah, misalnya SD, SMP dan SMA berapa orang yang berhak akan disampaikan ke pusat.

    PT Pos dan PT Askes

    Sementara itu, terkait permintaan pemerintah kepada PT Bank BRI dan PT Pos Indonesia untuk segera menyelesaikan penyaluran dana Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak(PKPS-BBM) tahun 2005 pada akhir September ini, Cenderawasih Pos mencobah memintah penjelasan dari Pihak PT Pos Indonesia, khusus Kanwil Pos XI Papua Maluku terkait realisasi Dana Konpensasi BBM di Papua.

    Asisten Manager Penata Layanan Pos Kanwil XI Papua maluku Sulistiyono SE.Ak menjelaskan, selama ini penyalurannya melalui PT Pos, namun untuk tahun ini PT Pos khusus menangani bidang pendidikan saja, karena bidang kesehatan sudah diberi wewenang kepada PT Askes. Dan sektor pendidikan masih dipilah lagi, dimana sasarannya ke siswa dan ke sekolah yang dikenal dengan Bantuan Khusus Murid(BKM) dan Bantuan Operasinal Sekolah(BOS)

    "Sesuai informasi dari pusat bahwa BKM ditanggung sepenuhnya oleh PT POS, sedangkan untuk BOS ditangani dua lembaga, yaitu Pos dan BRI, artinya belum ditentukan secara pasti oleh Pemerintah Provinsi, apakah nanti melalui PT POS ataukah melalui BRI, semua tergantung Pemda Provinsi Papua. Sedangkan secara Nasional yang melalui PT Pos baru 3 Provinsi yaitu, Jawa Barat, Bali dan Jawa Timur, lainnya lewat perbankan. Kami pernah mengajukan proposal ke Dinas P dan P namun tidak mendapat respon,"ungkapnya.

    Dikatakan, PT Pos Papua baru menangani dana BKM, sedangkan BOS baru diusulkan. Dimana pihaknya telah menuntaskan dana BKM tahap pertama dan tahap ke II masih menunggu alokasi dari pusat. "Sampai sekarang belum ada informasi kapan disalurkan dan berapa besar jumlahnya kami belum tahu. Biasanya kalau sudah dicairkan oleh pemerintah pusat, maka pihak pos langsung menyalurkan.

    Mengenai prosedur penyalurannya, ia mengatakan dari departemen terkait diberikan kepada PT Pos pusat, selanjutnya langsung dialokasikan ke daerah-daerah sesuai data yang diberikan dari daerah masing-masing, dari daftar itulah maka pihak departemen akan membuat jadwal penyalurannya. Misalnya, dua minggu atau satu bulan sebelum pembayaran mereka sudah distribusikan ke masing-masing kantor pos terdekat, dan nanti dari pihak kantor pos akan menyalurkan sesuai data atau daftar yang dimiliki pada kantor pos. Dan penyalurannya ke tiap sekolah melalui kepala sekolah atau orang yang ditunjuk dari sekolah tersebut, jadi tidak diambil langsung oleh siswa bersangkutan di kantor pos.

    Dikatakan, untuk penyaluran tahap pertama sudah dilakukan dan realisasinya 100 persen, dan sudah dilaporkan ke Pusat, namun besarnya angka yang terealisasi enggan disebutnya,karena tidak diketahui jumlahnya secara pasti.

    Sementara itu dari PT Askes diperoleh keterangan, bahwa Dana Konpensasi sudah diterima oleh Askes sebagian dan khususnya Papua ini pihaknya sudah melayani peserta, baik melalui rumah sakit dok II dan Abepura serta puskesmas-puskesmas. Semua masyarakat miskin dilayani, baik yang punya kartu askes ataupun yang tidak mempunyai kartu askes dengan membawa kartu sehat atau surat keterangan dari distrik tanpa mengeluarkan biaya sepersenpun. Hal itu diungkapkan Manager Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin(PJK-MM) PT Askes Region Papua Maluku Artileri, kepada Cenderawasih Pos di ruang kerjanya Rabu(7/9) kemarin.

    Dikatakan,PT Askes sudah mulai menjalankan program tersebut sejak 1 Januari 2005 untuk melayani peserta miskin berdasarkan permintaan menteri kesehatan. Dan PT Askes membayar kepada puskesmas berdasarkan pernyataan sisa dana pkps bbmnya. Misalnya habis bulan Desember, maka askes dalam hal ini membayar kapitasi yaitu kepada dinas kesehatan mulai Januari sepanjang ada pernyataan dari kepala dinas atau pihak rumah sakit bahwasanya dananya habis pada bulan berapa,maka askes yang akan melanjutkan.

    "PT askes menerima penugasan,jadi konpensasi BBM ini diberikan kepada kami untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin. Mengenai besarnya dana konpensasi, tergantung besarnya jumlah pasien pada tiap rumah sakit",tegasnya.(bat/cr-141)

    (sumber: cepos)

  • Reaching out beyond the barriers

    Duncan Graham, Contributor, Surabaya

    It is probably one of the most difficult jobs on the diplomatic circuit in Indonesia: To get United States policies, values and lifestyles understood by people who have never been to America.

    For some, it is the great democracy; for others it is the great Satan. Demolishing myths and substituting facts is no task for the weak-willed.

    The latest recruit to this "challenging task" -- as she prefers to label the assignment - is the energetic Claire Pierangelo; marathon runner, linguist, economist and now U.S. consul general in Surabaya.

    "There's a lot of interest but not a whole lot of knowledge about the U.S. in Indonesia," she said. "Its important for people to meet face to face in order to form their own opinions on issues beyond the simple headlines of the day.

    "Nor was there much depth of knowledge of Indonesia in America until the terrible tragedy of the tsunami. That's now changing. One in five Americans donated to the tsunami victims.

    "A priority in my job is community outreach. By that I mean getting to know Indonesian people and help them develop their own ideas of what America is and what it means. Of course, it was easier to do that in the old days."

    Indeed. Now there are real obstacles to add to the cultural, historical and language differences. Since Ms Pierangelo took up her post in July the consulate's high steel fences have been shielded so the lovely old Dutch house can no longer be seen by passersby or the queues of visa applicants.

    There is always a heavy police presence outside waiting for the next demo, and the roadside barriers in Jl Dr Sutomo have been strengthened.

    It is an annoying impediment to the free flow of traffic and Pierangelo will not comment on when or if it will be removed. By comparison, within a couple of kilometers the French consulate runs an open-door policy with free access to a substantial library, exhibitions and regular film nights.

    If the average Indonesian cannot saunter into the U.S. consulate, then the staff have to get out to meet the people. Ms Pierangelo has already visited a pesantren in Malang and has been confronted with questions about her country's attitude toward independence in Papua.

    The issue has been made more sensitive by reports that some members of the U.S. Congress have proposed a bill questioning the validity of Papua's inclusion in the Republic in the 1969 so-called Act of Free Choice.

    "I said we continue to support the territorial integrity of Indonesia but we are concerned about some human rights issues," Ms Pierangelo said. "Members of Congress are free to discuss international issues and propose legislation, but that doesn't mean they become law."

    Her colleagues visit schools and other education institutions to explain how the U.S. works, and distribute information on exchange programs and fellowships. More than 11,000 Indonesians have utilized these in the past 50 years. (The figure for Australian government scholarships over the same period is 8,000.)

    The Pesantren Leaders Program gives educators the chance to study in public and private schools in the U.S. and meet religious leaders of all faiths. This is part of a US$ 157 million four-year educational aid package for Indonesia.

    The U.S. has had a consulate in Surabaya since 1896. With a staff of about 50 locals and 10 expatriates it is the largest foreign mission in Indonesia's second-largest city. This is despite the fact that probably fewer than 2,000 Americans live in the consulate's coverage area. This extends east from central Java across to Papua.

    Australia, the country next door, has no office in Surabaya even though Western Australia has a "Sister-State" relationship with East Java.

    Pierangelo said her country recognized the importance of the East Java capital and its significance to Indonesian business, industry and politics. "I want as many people as possible to get to know America," she said.

    "It's not my role to dictate. I want Indonesians to know and understand us. I'll have succeeded if they've met a variety of people and been exposed to a variety of opinions -- and they remember the effort we've put into that ambition."

    Her previous overseas posting was in Vietnam where she worked on trade issues. She joined the U.S. State Department in 1985 after studying international relations at Johns Hopkins University where she graduated with a master's degree.

    She has also studied at the National Defense University and has served in Britain, Haiti, Malta and Italy -- the birthplace of her grandparents. Her linguistic abilities include Italian, French, Spanish, Haitian Creole and Vietnamese.

    With this background, it is not surprising that she has yet to encounter any great culture shock.

    After being offered the Surabaya job she studied Indonesian intensively in Washington, but finds limited opportunities to practice her skills now she is in Indonesia, such are the security concerns. It also hampers chances of running marathons, which she did in Washington.

    Operating under tight security is not the best way to meet the people but so far Ms Pierangelo seems to have done a reasonable job if comments in the small foreign community are any guide.

    Her predecessor Philip Antweiller had a low-profile reputation -- his successor is said to be more direct and outspoken -- an analysis she found amusing.

    While sipping tea served by men, she rejected local gossip that she had been chosen for the job to show a predominantly Muslim nation that in the West women can rise to high administrative positions. She also dismissed the idea that she might give the job a soft touch.

    "Gender is not a criterion for selection," she said. I was offered the position. Who wouldn't want to come to Indonesia?"

  • Menhut Desak Proses Hukum 10 Bupati yang Terlibat Kejahatan Kehutanan

    Rabu, 07 September 2005 - 07:30 AM

    Jakarta, Menteri Kehutanan (Menhut) mendesak Kejaksaan Agung mengusut tuntas kasus 10 bupati dan mantan bupati yang terindikasi kuat melakukan kejahatan di bidang kehutanan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga telah mengeluarkan izin pemeriksaan terhadap para bupati tersebut.

    ''Saat ini beberapa kasus sudah sampai pada penyelidikan dan pengumpulan bahan keterangan. Jadi memang ada beberapa kasus pelanggaran yang berpotensi merugikan negara yang diduga kuat melibatkan para bupati dan mantan bupati itu. Kita sudah minta secara resmi kepada Kejaksaan Agung supaya kasus ini cepat diselesaikan,'' kata Menhut MS Kaban di Jakarta, Senin (5/9).

    Menurut Menhut, akibat ulah para kepala daerah itu, negara berpotensi mengalami kerugian puluhan miliar. Saat diminta memerinci kesepuluh bupati dan mantan bupati itu, Menhut mengaku tidak hafal satu per satu. Dia hanya menyebutkan, kesepuluh bupati dan mantan bupati tersebut, lima orang berasal dari wilayah Kalimantan, empat orang dari Sumatera, dan satu orang dari Papua.

    Direktur Jendral Bina Produksi Kehutanan Dephut, Suhariyanto menambahkan, kasus-kasus yang melibatkan para kepala daerah tersebut meliputi penyelewengan setoran Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan (DR-PSDH), pemberian izin pengusahaan hutan yang tidak sesuai dengan UU 41/1999 tentang Kehutanan, serta pembalakan liar (illegal logging).

    ''Ada setoran DR-PSDH dalam jumlah yang cukup besar yang sampai saat ini masih ditahan kepala daerah dengan berbagai alasan. Ada setoran yang mengendap di rekening bupati, dan ada juga yang digunakan untuk hal-hal lain. Padahal dana DR-PSDH itu harus disetorkan ke kas negara. Jumlahnya memang tidak sampai ratusan miliar rupiah, hanya puluhan miliar rupiah. Tapi, kita tidak melihat nominalnya. Ini adalah pelanggaran aturan dan merugikan negara. Jadi, ini yang kita tekankan,'' katanya.

    (sumber: pembaruan)