Ok

By continuing your visit to this site, you accept the use of cookies. These ensure the smooth running of our services. Learn more.

News Info - Page 6

  • Percumakah Dana APBD untuk Nabire - Papua

    Setelah selesai melaksanakan Sidang APBD Kabupaten Nabire Tahun 2005/2006 para Pejabat Teras Kabupaten Nabire masih berkeliaran di Jakarta tanpa alasan yang jelas. Setelah saya melakukan koordinasi dengan seseorang yang merupakan informan di Nabire memberitahukan bahwa semua pajabat baik DPRD, Bupati Bappeda (penyusun program, Penyusun ANggaraan) dan lain sebagainya sedang berada di Jakarta dan akan kembali ke Nabire - Papua tidak sempat diutarakan oleh Informan di Nabire.

    Bagaimana dengan pendapat saudara sekalian terutama bagi para pelajar dan mahasiswa yang sedang berada di luar Papua terutama bagi saudara sekalian yang yang sedang membutuhkan uluran tangan dari Pemda Kabupaten Nabire.

     Silhkan tangkapan saudara kami sangat butuhkan, bagi yang melihat dan megunjungi sitsu ini.

    Jack Dogomo 

     

  • Indonesian General Received Cash Payments

    Associated Press
    Indonesian General Received Cash Payments
    07.25.2005, 07:29 AM

    An international watchdog group claimed Monday that the local unit of an American gold-mining company appeared to have paid an Indonesian general accused of rights abuses almost US$250,000 (euro206,000) to protect its mine.

    A spokesman in Jakarta for PT Freeport Indonesia, a unit of New Orleans-based Freeport McMoRan Co., denied the accusation made by in a report by Global Witness, a London-based group that monitors natural resource use and human rights.

    The spokesman, Siddharta Moersjid, said the company provided support for transport and logistics for Indonesian forces guarding its mine in remote Papua province, but denied paying officers directly.

    A military spokesman also denied officers received money directly from Freeport.

    In a report called "Paying for Protection," Global Witness said it appeared that PT Freeport Indonesia had paid large sums of money directly to individual military and police officers, not to the Indonesian government or military institutions.

    "This should be a red flag in a country like Indonesia," said Diarmid O'Sullivan, a campaigner for the group. "The real troubling question is where did the money go?"

    O'Sullivan declined to reveal the source of the allegations, a practice he said was customary for Global Witness, which describes itself on its Web site as working to "highlight the link between the exploitation of natural resources and human rights abuses." But he said the organization "was completely confident" in them.

    The report names former Papua military chief Gen. Mahidin Simbolon as apparently receiving US$247,705 (euro205,000) between 2001 and 2003 in payments for unspecified humanitarian projects, military celebrations and for "security services."

    Rights groups have accused Simbolon of abuses when he was a commander in Indonesia's former province of East Timor in 1999, where soldiers and militiamen are alleged to have committed crimes against humanity that included at least 1,200 murders.

    Indonesian troops in Papua have been accused of rights abuses in putting down a simmering separatist rebellion. In 2002, rogue soldiers were accused of involvement in ambush close to the mine that killed two American school teachers.

    Freeport's practices in Papua have concerned some of its shareholders, who fear that the company may be liable at home if soldiers on the company's payroll are found guilty of human rights abuses.

    Freeport-McMoran's Grasberg mine in Papua is one of the world's largest gold and copper mines. For the first six months of 2005, the company posted earnings of US$305.6 million (euro252 million) .

    Moersjid, the Freeport spokesman, said it was "not true" the company paid officers directly, including to Simbolon.

    "We are providing support for logistics and transport and the like, but we are not paying them directly," he said.

    An Indonesian military spokesman acknowledged that troops received money if "they were sick or things like that" but that no senior officers received funds directly.

    Other foreign companies exploiting Indonesia's natural resources have also been accused of paying army units to protect them, including U.S. energy giant ExxonMobil Corp, which taps natural gas fields in Aceh province.

    "The military needs money, and companies need security for their plants," said Rusdi Marpaung, a nongovernmental group focusing on human rights in Aceh. "It is a kind of corrupt symbiosis."

  • Pejabat Kab. Nabire Kebanjiran di Jakarta

    Setelah penutupan Sidang RAPBD Kabupaten Nabire Tahun Ajaran 2005/2006 Pejabat Teras Pemda Kabupaten Nabire berkeanjiran di Jakarta ? Kedatangan pejabat ini untuk mengurusi apa, selanjutnya apa yang diberikan kepada masyarakat di Nabire masih tanya ?

    Kedatangan mereka ini hanya menghabiskan uang rakyat yang baru selesai penutupan SIdang RAPBD. Beberapa mahasiswa sempat mendatangi ke tempat hotel mereka mengingat tapi hasil nihil.

    Untuk sementara ini saja yang lapor semoga saudara tidak bosan untuk membaca  dan mengunjungi di situs ini.

     

    Jack Dogomo 

  • Tanpa Sebab Anggota KPUD Kabupaten Nabire - Papua di Pukul oleh Oknum PNS

    Tanpa Alasan yang jelas Anggota KPUD Kabupaten Nabire - Papua Bapak Alpius Petege di aniyaiya oleh Oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) namanya Paul Mote PNS Kejaksaan Negeri Nabire. Tidak jelas motif pemukulan terhadap Anggota KPUD tersebut. Sumber Informasi yang sama di dapat pada hari Minggu tanggal 24 Juli 2005. Maka kejadiannya bisa diperkirakan satu atau dua yang lalu. Apakah pemukulan ini sedang diselidiki oleh pihak yang berwajib atau tidak masih tanda tanya ?

    Kehormatan dan pakaian dinas KPUD Kabupaten Nabire menjadi runtuh, karena secara tidak langsung telah mencoreng Nama KPUD Kabupaten Nabire.

    Semoga pihak yang berwajib segera menangani masalah tersebut dan diperlakukan sesuai jalur hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

    Kejadian ini bisa diperkirakan bahwa ada penyakit sakit atau luka lama yang tersimpan dan terselubung dihati yang palimh dalam yang berhubungan dengan beberapa kejadian yang menimpa beberpa Pejabat Jajaran Pemda Kabupaten Nabire ? May be (barangkali begitu bukan? Kita tunggu informasi selanjutnya.

    JID    

  • Sidang RAPBD Secara REsmi di Tutup

    Secara resmi Sidang Rancangan Anggaran Pembangunan Daerah(RAPBD) Kabupaten Nabire – Papua Tahun Ajaran 2005/2006 di tutup pada hari Kamis tanggal 21 Juli 2005 oleh Ketua DPRD Kabupaten Nabire.

     

    Ada banyak hal kita bisa petik dari hasil Sidang RAPBD ini, karena selain ada kelemahan maupun tidak luput dari kelebihan serta ada beberapa keanehan yang dibuat oleh Pejabat Jajaran Pemda Kabupaten Nabire. Secara berturut kami akan menguraikan satu per satu. Namun kami meminta maaf jika data kurang tapi cukup akurat karena sumber informasinya sangat dipercaya.

     

    Yang pertama adalah dari beberapa pemuda yang hanya mengatas-anamakan masyarakat 10 distrik membuat gebrakan untuk membuat dan merumuskan untuk membentuk salah satu kabupaten baru. Beberapa intelektual dan pejabat asal 10 distrik jadi korban karena nama tercantum didalamnya. Apa yang akan terjadi setelah 5 tahun kemudian dan apa untung dan ruginya tidak dipikirkan secara matang-matang. Ketua Tim Sukses Hosea Petege sempat rebut dan memaki-maki kepada Bapak Ketua DPRD Kabupaten Nabire pada saat penutupan Sidang RAPBD karena dalam sidang RAPBD tidak masuk dalam agenda pembahasan dan tidak disetujui.

     

    Disamping trauma dengan gempa yang terjadi secara berturut yang merupakan rekor dunia, karena didunia manapun tidak pernah terjadi gempa secara berturut dalam satu tahun di satu tempat, namun di jajaran Pemerintah Kabupaten Nabire – Papua mengajukkan proposal untuk mendapatkan mobil satu-satu, dan secara mentah-mentah Ketua DPRD Kabupaten Nabire – Papua mencoret dan tidak masuk dalam agenda pembahasan RAPBD Tahun 2005/2006. Sadar atau tidak sadar sebagai manusia untuk memiliki kebutuhan walaupun barang itu merupakan sesuatu yang harus dipenuhi. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah Pejabat Pemda Kabupaten Nabire ini membela dan melayani masyarakat gak sih ? sementara masyarakat sedang membutuhkan bantuan dan uluran tangan dari Pemda ? Diisisi lain mereka Pejabat Pemda Kabupaten Nabire setiap bulan menerima gaji sementara rakyat kecil terima apa ? Menjadi diskusi kita sama-sama.

     

    Ada yang lebih seru lagi bahwa Sidang RAPBD Kabupaten Nabire Tahun Ajaran 2005/2006 tidak ditandatangani oleh orang 01 Kabupaten Nabire – Papua, apa apa dibalik itu merupakan suatu pertanyaan besar yang sedang diselidiki oleh sumber kami di Nabire – Papua. Semoga yang berikut lebih akurat dan terpercaya. Dan setelah penutupan Sidang RAPBD Bupati Kabupaten Nabire – Papua langsung terbang di Jakarta. Pada saat ini bapak Bupati Drs. A.P. Youw masih ada di Jakarta. Besok disusul oleh Ketua DPRD Kabupaten Nabire Daniel Butu menuju ke Jakarta. Ketua pimpinan tersebut kami sempat menelpon untuk mewawancarai seputar Sidang RAPBD tersebut nomor hp-nya dua-duanya tidak aktif, dan hotel tempat tinggal merekapun dirahasiakan.

     

    Ada salah satu terobosan yang dilakukan oleh anggota DPRD Kabupaten Nabire adalah tiap Distrik mendapat uang pembangunan sebesar Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah). Berarti ada 10 Distrik di kali uang sebesar maka jumlahnya sebesar 1 Milayar. Program apa yang akan dilakukan oleh Kepala Distrik kita tunggu informasi selanjutnya. Dan keputusan tersebut sangat dterima dengan baik oleh masyarakat yang menghadiri sidang RAPBD tersebut karena selama ini tidak pernah mendapatkan uang sebesar itu. Pada saat sama DPRD meminta laporan utang dan pemakaian uang selama beberapa bulan sebelumnya namun tidak ditanggapi oleh pihak pemda dan Bendahara Harian Ibu Alam. Malah mereka gugup dan kering dingin. Dan ini bisa diperkiraan bahwa penggunaannya tidak jelas kemana arahnya ?

     

    J I D

  • KILAS BALIK INFO SEPUTAR PERTAMBANGAN EMAS SECARA ILEGAL

    KILAS BALIK INFO SEPUTAR PERTAMBANGAN EMAS SECARA ILEGAL
    DI DISTRIK SIRIWO KABUPATEN NABIRE – PAPUA

    Meluruskan dan menambahkan berita yang dimuat di Koran Nasional Kompas hari Rabu, 13 Juli 2005, halaman 35, yang menyatakan “ Tidak ada payung Hukum bagi masyarakat adat Pemilik lokasi seluas 120 km2 itu dikuasai oleh Pengusaha dari Nabire dan Timika”

    Seiring dengan pertambahan penduduk secara membludak ataupun penduduk musiman bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi global, sumber daya alam mengalami tekanan yang sangat besar akibat semakin tingginya tingkat keserakahan kebutuhan dan kepentingan manusia. Kebutuhan manusia terutama ekonomi masyarakat seharusnya menjadi perhatian pemerintah sehingga diambillah kebijakan investasi dengan mempromosikan Sumber Daya Alam (SDA) untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut seperti pendulangan emas secara liar (illegal mining).

    Propinsi Papua terutama Distrik Uwapa, Distrik Siriwo dan selanjutnya adalah Distrik Mapia Kabupaten Nabire menjadi salah satu daerah sasaran investasi para gurandil yang rakus atau serakah akan kebutuhan manusia karena kandungan SDA terutama Emas (Au) yang cukup potensial. Namun jika dari sekarang tidak direncanakan dan dirundingkan dengan baik-baik serta melibatkan semua pihak yang berkepentingan terutama masyarakat adat pemilik Hak Ulayat (pemilik dusun) maka sangatlah riskan apabila dikatakan upaya pembangunan untuk kepetingan semua pihak dengan rakyat sejahtera.

    Dengan dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, apakah sudah ditetapkan atau belum masih kami tidak tahu karena kami orang daerah dan masih tanda Tanya (?) Telah banyak kawasan yang rusak akibat eksploitasi SDA yang dilakukan oleh pemburu harta karun (gurandil) disamping degradasi alam. Tekanan semacam ini semakin kuat sampai mengancam kawasan konservasi. Dengan adanya Perpu ini semakin terbuka peluang untuk pengrusakan lingkungan, ekosistim, fauna, flora sementara pemulihan sumber daya alam (lingkungan hidup) membutuhkan waktu yang sangat panjang.

    Yang menjadi perhatian serius dan pekerjaan rumah (PR) bagi pihak pemerintah agar pengalaman yang lalu di Topo (Distrik Uwapa) Kabupaten Nabire tahun 1997 tidak terulang di Wegema, Deneidago Distrik Siriwo, bahwa sebelum melakukan negosiasi dengan pihak ke tiga (investor) atau Rakus akan harta karun, semua hal yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam perlu ditata dengan baik. Selama pengalaman berjalan sumber daya alam menjadi andalan bagi peningkatan ekonomi rakyat, tetapi dalam pengelolaannya tidak jarang meninggalkan dampak negativ karena rusaknya lingkungan dan rakyatlah yang menanggung beban tersebut.

    Sehingga penetapan kawasan penting ditetapkan sebagai kawasan untuk dimanfaatkan (eksploitasi) dan kawasan mana untuk konservasi.
    Dalam penetapan fungsi kawasan masyarakat adat perlu dilibatkan secara proporsional, sebab secara turun temurun kehidupan masyarakat sangat tergantung pada sumber daya alam pada wilayah adatnya, sehingga mereka tahu apa yang menjadi rencana pemerintah untuk masa depannya. Contoh kasus PT Freeport Indonesia, penghasil tambang emas nomor 2 (dua) di dunia, Penetapan Taman Nasional Lorentz, yang merupakan Komunitas Tanah Adat Welesi Jayawijaya yang merasa kehilangan akses atas wilayah adat, sehingga menjadi pertanyaan besar di kepala mereka. Contoh kasus diatas ini sepele tapi bila dibiarkan berlarut-larut, tentu akan berdampak buruk bagi semua pihak.

    Pada awal bulan Februari 2005 yang lalu pada saat rapat koordinasi, Aturan main yang dikemukakan oleh Bapak Ketua DPRD Kabupaten Nabire pada pertemuan (Rapat Kerja) antara Pengusaha Emas, dengan masyarakat dihadapan pemerintah Kabupaten Nabire dan anggota dewan pada hari Jumat, tanggal 04 Februari 2005. Aturan main yang dimaksud adalah bahwa ada Perda yang mengatur tentang petrtambangan secara liar ini yakni Perda No. 13 Tahun 2003, tentang “Pembinaan, Pengaturan, Pengendalian dan Pengawasan Usaha Pertambangan Emas di Kabupaten Nabire” harus menjadi acuan termasuk kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha atau bisnis, sementara perlindungan dan penyelamatan lingkungan menjadi tanggungjawab semua pihak baik pihak pemerintah, investor (pelaku usaha / bisnis) maupun masyarakat luas sebagai penerima manfaat. Untuk itu selain Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi target, kompensasi yang diterima oleh masyarakat pemilik hak ulayat dan penyelamatan lingkungan menjadi porsi yang paling penting untuk diperhatikan dan direalisasikan.

    Namun di Perda No. 14 Tahun 2003 ini kami dari Badan Pengurus Yayasan BMA SIMAPI pernah mengajukan Surat dengan No. 05/BMA-SIMAPI/SP/III/2005 perihal tentang “mohon diamandemen ulang Perda No. 14 Th. 2003, tertanggal 08 Maret 2005 dengan alasan bahwa setelah kami membaca, mengkaji, menganalisa dan mengembangkan dari pasal demi pasal dari Perda tersebut banyak terdapat pasal-pasal yang sangat merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan pemerintah, namun tidak pernah direspon balik. Pasal-pasal yang dimaksudkan adalah Bab V, Pasal 21 huruf (b), (d), (e), (f), Pasal 24 huruf (a), (b), (c), (d) dan lain sebagainya, serta Perda tersebut tidak pernah dilaksanakan hanya sebagai simbol. Yang lebih parahnya lagi ada Anggota Dewan yang sama sekali tidak mengerti dan tidak paham sama sekali tugas yang sebenarnya dan merampas tugas dan wewenang dari beberapa komisi yang ada. Ada Komisi Pembangunan yang merampas hak dan kewajiban dan tugas dari komisi yang sebenarnya menangani masalah pertambangan. Pasal-pasal yang dimaksudkan diatas akan dilampirkan dalam berita kilas balik.
    Ada beberapa pasal yang hanya sebagai simbol sementara isi daripada perda tersebut tidak dilengkapi dengan inventaris di kantor yang merupakan inventaris yang sangat vital yaitu Peta. Peta yang dimaksud adalah Peta Rupabumi, Peta Kontur, Peta Geologi, Peta Geologi, Mitivigasi Bencana Alam dan sejenisnya. Dilain pihak pada Perda tersebut harus dilengkapi pada saat pengurussan Surat Izin Pertambangan Emas (SIPE). Kadang orang yang kerja di Kantor Dinas Pertambangan dan Energi di Kabupaten Nabire – Papua sama sekali tidak mengerti apa yang seharusnya dikerjakan, kerja yang paling serius mereka lakukan adalah hanya pengurusan SIPE itu saja titik. Sementara untuk mengejar proyek dalam arti bahwa untuk melakukan penelitian, pengkajian, analisa dan sebagainya adalah tidak tahu-menahu. Jika tidak kerja paling main domino alias gaple. Barangkali kerjaan itu saja mereka tahu. Untuk diketahui bahwa selain pertambangan Emas di Tembagapura Kabupaten Mimika, di Kabupaten Nabire tidak kalah jauh jika kita berbicara tentang kandungan emas hanya saja dari Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire sajalah yang tidak menangani secara serius. Karena awal muncul emas pertama kali di Topo Distrik Uwapa Kabupaten Nabire 1997 hingga sekarang masih dilakukan dengan pertambangan rakyat. Apa sajanya jika Pemerintah Kabupaten Nabire mengambil kebijakan untuk mendatangkan investor lokal atau membuka peluang kepada investor yang mempunyai modal agar kelestarian lingkungan terpelihara dengan baik.

    “Jika kita tidak waspada maka kita menjadi bangsa kuli diantara bangsa-bangsa lain”, demikianlah satu kutipan pidato oleh Presiden RI I Ir. Soekarno. Untuk itu cukuplah masalah pendulangan emas (pertambangan rakyat) di Gamei, di Sekitar Topo Wliayah Distrik Uwapa 1997, yang terjadi pembunuhan, pertikaian menjadi luka lama yang tak bisa kita lupakan, kami tidak bisa memperkirakan berapa nyawa yang melayang. Kejadian ini jangan sampai terjadi di Wegema, Deneidago Distrik Siriwo. Pertikaian yang terjadi pertama di Wegema dan Deneidago adalah terjadi perampasan emas oleh orang Dani terhadap orang asli sehingga satu nyawa jadi korban.

    Di Topo menjadi gundul dan tidak nampak seperti salah distrik dari Kabupaten Nabire, kini di Distrik Siriwo yang merupakan daerah yang sangat keramat bagi orang di Wilayah Distrik Siriwo, Mapia, Sukikai, Kamuu, Ikrar, Napan, Distrik Paniai Barat (Obano) dan sekitar, Distrik Bogobaida dan sekitarnya di Kabupaten Paniai. Namun dari kedua pimpinan Pemerintah antara Pemerintah Kabupaten Nabire dan Kabupaten Paniai tidak mengambil alih untuk menata dengan dalam arti untuk mendatangkan investor maka selamatlah riwayatmu, Daerah Keramat yang telah lama dijaga tinggal kenangan dan menjadi korban kedua setelah setelah Distrik Uwapa (Topo). Setelah Distrik Siriwo para gurandil ini akan kemana ? Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya dan paling tidak prediksi kami akan ke Distrik Mapia.

    Masalah pertambangan emas secara liar yang sedang dilakukan ini kami mengikuti secara serius mulai awal tahun 2005 ini, maka yang timbul dibenak kami adalah bahwa Perda No. 14 Th. 2003, dibuat dan disahkan tahun 2003 sementara pertambangan emas secara liar ini dilakukan akhir tahun 2004, mengapa dari Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire membiarkan mereka ini untuk merusak lingkungan hidup ? Di Dinas Pertambangan dan Energi – pun tidak menyiapkan inventaris kantor seperti yang dikemukan diatas ? Selama dua (2) tahun ini pegawai pemda ini kerja apa ? Sementara jika dicermati perda tersebut masih banyak pasal-pasal yang sangat merugikan masyarakat, nyata sekali bahwa ketidakberpihakan Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire kepada masyarakat. Beberapa kali masyarakat pemilik dusun mendatangi ke Pemda Kabupaten Nabire (Dinas Pertambangan dan Energi) dan Kantor DPRD Kabupaten Nabire untuk menuntut haknya mereka untuk menggati rugi dengan adanya pertambangan rakyat (akan dilampirkan), namun selalu disuruh tunggu sedang diproses, tunggu dan tunggu berarti kapan ? Kejadian ini sama persis seperi Harian Nasional Kompas, Kamis, 11 April 2002 yaitu “SUSAHNYA RAKYAT KECIL MENCARI KEADILAN”, beberapa kutipan yang masih diingat dibenak saya yaitu “Bagi rakyat kecil, bukan hanya urusan mencari nafkah yang sulit, namun saat berhadapan dengan lembaga peradilan guna menuntut haknya merekapun tak berdaya. Keadailan masih merupakan barang mewah bagi masyarakat yang mulai menyadari haknya sebagai warga negara. Saya kesini Cuma menuntut hidup yang layak. Tak perlu enak, yang perlu dan penting layak untuk hidup ………………., dst”.

    Saya lupa tanggal, Awal bulan Mei 2005, rencana dari para pengusaha emas membayar kerugian berdasarkan Perda No. 14 Th. 2003 dengan harga sebesar Rp. 5.000.000,00 / bulan X 4 bulan pendulangan emas yang dilakukan oleh para pengusaha kepada pemilik dusun, namun jika kita cermati dan analisa dari Perda tersebut sebenarnya bahwa para pengusaha emas sebenarnya membayar kepada Pemerintah Daerah atas pelanggaran yang dilakukan terhadap Perda No. 14 Th. 2003 yaitu pada Bab VIII tentang Ketentuan Pidana Pasal-pasalnya sebagai berikut :
    1. Pelanggaran terhadap Pasal 5,6,20 dan Pasal 29 Peraturan Daerah ini diancam Pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda berupa uang sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,0 (lima juta rupiah),
    2. Tindak pidana tersebut ayat 1 ini adalah pelanggaran,
    3. Selain tidak pidana sebagaimana dimaksud ayat 1 Pasal ini, tindak pidana yang mengakibatkan pengrusakan lingkungan diancam sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Sementara masyarakat pemilik dusun meminta bukan yang dimaksud diatas tapi masyarakat menuntut pembayaran hak ulayat, pengrusakan lingkungan, kerugian Sumber Daya Alam yaitu kandungan emas yang dibawa keluar dari wilayah Distrik Siriwo tak terhitung nilainya, pembayaran parkir / lending helyped untuk helikopter, pembuatan warung / kios di sekitar pendulangan emas di Distrik Siriwo. Tuntutan Masyarakat Pemilik Dusun kepada Pemerintah dan para pengusaha emas sebesar RP. 8.864.000,00 Delapan Milyar delapan ratus enampuluh empat juta rupiah) perinciannya akan dilampirkan. Sedangkan dari pengusaha emas dan Pemerintah daerah Kabupaten Nabire mau membayar sebesar Rp. 75.000.000,00 (tujuh lima juta rupiah). Masyarakat pemilik dusun menyatakan bahwa harganya tidak sebanding dengan nilai dan jumlah emas yang dibawa keluar, perbaikan kelestarian lingkungan hidup yang memakan waktu yang lama.

    Masalah yang muncul di permukaan dengan adanya pendulangan emas adalah banyak yang lupa diri akan tugas utama terutama bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Staf Pengajar (Guru), Staf Kecamatan, Staf Puskesmas, barangkali gajinya yang kecil atau hanya karena kebutuhan ? Apa yang terjadi masyarakat dan anak murid terutama yang duduk di bangku SD dan SLTP menjadi korban, tidak mendapatkan pelajaran (pengetahuan), kasihan masa depan jadi suram karena mereka rata-rata anak yang tidak berdosa baik kepada pemerintah maupun kepada gurunya karena mereka tidak tahu apa yang mereka harus perbuat.

    Banyak generasi muda yang berpindah profesi, awalnya dikampung anak-anak baik, patut, rajin, setelah termakan oleh waktu dan jaman lama-kelamaan menjadi hancur, tukang mabuk (anak lingkaran setan), pencuri, acuh tak acuh, masa bodoh dengan perubahan. Keadaan dan situasi begini daerah menjadi hancur, tingkat kerawanan dan tingkat kriminalitas akan meningkat, dan ini merupakan kelemahan, kekurangan dan kebodohan Pemerintah Daerah masa lalu, oleh sebab itu instansi terkait segera mengambil alih untuk mengkoordinasikan dengan semua elemen masyarakat dan pemerintah baik eksekutif dan legislativ.

    Masalah seperti ini bisa memperkirakan bahwa ada orang lain (oknum sedang main di balik meja baik itu Anggota ABRI (Kopasus), POLRI maupun Pemerintah Daerah guna menghancurkan generasi muda orang Papua terutama di Kabupaten Nabire karena sangat prospek dengan adanya pendulangan emas.

    Dari hasil pengamatan selama ini terjadi pembodohan politik, pembodohan sistem, karena tidak ada pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat. Yang selama ini terjadi adalah dikantor cuma kursi dan meja, diatas meja terdapat kertas atau buku dan bolpen, seakan-akan masyarakat butuh benda-benda mati tersebut. Sementara paraf kehadiran telah ditanda tangani. Hal semacam ini Kabupaten Nabire ini sebuah Perusahaan go international, sudah gulung tikar dari dulu karena tidak ada pegawasan dari Bawasda.

    Rapat hari Jumat tanggal 04 Februari 2005 semua orang baru buka mata dan telinga besar-besar atas kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan oleh para pengusaha dan backingnya termasuk Pemerintah Kabupaten Nabire yang tidak menangani masalah pertambangan emas ini, dan Rapat Koordinasi yang dilakukan oleh Anggota Dewan Kabupaten Nabire merupakan suatu terobosan baru untuk membela masyarakat. Karena pada hari itu terjadi demostrasi di Kantor DPRD Kabupaten Nabire berkaitan dengan pendulangan emas secara liar (illegal mining).

    Berdasarkan subjudul yang diuraikan diatas bahwa secara organisator ada Lembaga Adat yang telah dirintis oleh Intelek asal Siriwo – Mapia – Piyaiye atau disingkat SIMAPI, salah satu Ketua Dewan Pendiri adalah Mantan DPR RI dan juga Almarhum yaitu Alm. Bapak Drs. Lukas Karl Degey. SIMAPI yang dimaksudkan diatas merupakan salah satu kecamatan induk sebelum terjadi pemekaran yaitu Kecamatan Mapia. Namun dengan semangat Otonomi Daerah maka terjadi pemekaran dari kecamatan induk yaitu Kecamatan Mapia menjadi tiga (3) kecamatan yaitu Kecmatan Siriwo, Kecamatan Mapia (yang merupakan kecamatan induk) dan Kecamatan Sukikai (Piyaiye). Intelek-intelek dari ketiga daerah ini membentuk lembaga adat yang diberi nama Yayasan Badan Musyawah Adat Siriwo - Mapia – Piyaiye yang disingkat Yayasan BMA SIMAPI, dibentuk pada tanggal 30 September 1990 di Ibukota Kecamatan Mapia di Bomomani. Dan diakte notariskan No. 33 tanggal 9 Februari 1993, dengan SK Menteri Kehakiman RI Tanggal 26 Oktober 1991 Nomor : C.100-HT.03.01 Th. 1991., dengan resmi disebut Yayasan BMA SIMAPI yang didirikan untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya dan telah dimulai pada tanggal 9 Februari 1993 (pasal 2, Akte Notaris). Salinan yang dilaporkan kepada Bupati akan dilampirkan, bersamaan dengan surat dukungan resmi berupa Surat Rekomendasi dari Dinas Kehutanan Propinsi Irian Jaya di Jayapura (pada saat itu) dan Departemen Pertambangan dan Energi RI Kantor Wilayah Propinsi Irian Jaya di Jayapura (pada saat itu) Sekarang Dinas Pertambangan dan Energi Daerah Tingkat I Papua di Jayapura.

    Dan Kepala Daerah sebelum kepemimpinan Drs. A.P.Youw yaitu Bapak Yusuf Adipatah sangat memberikan respon dan memberikan dorongan dan dukungan yang sangat besar namun dengan kepemimpinan Drs. A.P. Youw ini jauh berbeda karena tidak ada lembaga yang dijadikan mitra kerja (partnership) sehingga sangat kelihatan sekali adanya KKN-nya artinya mengambil keputusan secara sepihak untuk kepentingan golongannya.

    Untuk itu, untuk menanggapi Berita yang dimuat Koran Nasional Kompas tanggal 13 Juli 2005 pada halaman 35 bahwa Yayasan BMA SIMAPI telah lama berdiri dan sudah mempunyai payung hukum untuk mengurusi Hak Ulayat dari Hukum Adat Wilayah Distrik Siriwo, Mapia dan Distrik Sukikai Kabupaten Nabire namun Pemerintah Daerah yang tidak memberikan porsi yang besar hingga sama sekali tidak ada, sehingga wajar jika dari wartawan Kompas menyatakan “Tidak ada payung hukum bagi masyarakat adat pemilik lokasi Pertambangan Emas secara ilegal ini. Surat-surat dukungan maupun Surat Rekomendasi dari beberapa instansi dari Daerah Tingkat I Papua, yang diberikan kepada Yayasan BMA SIMAPI untuk mengurusi Hak Ulayat akan dilampirkan dalamnya.

    Info Kilas balik tentang Pertambangan Emas di Distrik Siriwo Kabupaten Nabire, diambil dari berbagai sumber.



    Penulis
    Jackobus Dogomo, Ir
    Pjs. Sekretaris Yayasan BMA SIMAPI


  • Areal Penambangan Rakyat di Siriwo Dikuasai oleh Pengusaha Nabire dan Timika

    Rabu, 13 Juli 2005 - 06:31 AM

    Nabire, Pendulangan emas di Siriwo, Kabupaten Nabire, Papua, sejak 2002 melahirkan sejumlah persoalan sosial. Tidak ada payung hukum bagi masyarakat adat pemilik lokasi seluas sekitar 120 km itu yang dikuasai pengusaha dari Nabire dan Timika.

    Emas yang diburu karena membawa keuntungan itu berbuntut pada persoalan yang sangat kompleks. Masyarakat asli yang melakukan pendulangan lebih dari tiga tahun itu tidak mendapat keuntungan sama sekali. Sementara sebagian lokasi penambangan telah dirusak dan dihancurkan.

    Ketua Badan Pengurus Musyawarah Masyarakat Pemilik Dusun Adat Miyokepi dan Deneidago, Siriwo, Yulianus Tagi beberapa waktu lalu mengatakan wilayah di perbatasan antara Kabupaten Paniai dan Kabupaten Nabire itu selama ini tidak diperebutkan. Masyarakat perbatasan tetap rukun saling menghormati hak ulayat masing-masing.

    Mereka berburu dan mencari makan di areal masing-masing tanpa konflik. Namun, setelah daerah itu dikapling para pengusaha, konflik dan permusuhan sering terjadi. Masyarakat menilai mereka paling berhak memiliki lokasi itu meski telah dijual kepada pengusaha. Mereka menilai cara yang dilakukan para pengusaha tidak membantu penduduk lokal.

    Menurut Tagi, meski para pengusaha membeli lokasi tersebut dengan harga sampai miliaran rupiah untuk 200-300 hektar lahan, uang sebesar Rp 1 miliar itu tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Harga bahan pokok yang dijual para pengusaha emas di lokasi itu sampai mencapai 2.000 persen lebih mahal dibandingkan dengan harga barang yang sama di Nabire. Akhirnya uang tersebut kembali ke tangan pengusaha.

    Jika kami berbelanja ke Nabire pun sebagian besar dari pemasukan kami tetap lari ke tangan para pengusaha karena ongkos angkut dengan helikopter Rp 40.000 per kilogram, selain harga tiket Rp 3 juta per orang. Upaya-upaya ini hanya untuk membodohi masyarakat asli dan mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi pengusaha emas, kata Tagi.

    Tidak ada satu lembaga pun yang mengoordinasi atau membina masyarakat asli dalam mengelola dana-dana yang diperoleh dari hasil penjualan emas dan lokasi emas tersebut. Ketika pendulangan emas berhenti, masyarakat pun kembali miskin, dan kemiskinan itu jauh lebih parah dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.

    Kerusakan lingkungan

    Sumber-sumber bahan makanan mereka seperti Sungai Degewo tempat mencari ikan, udang, dan belut telah hancur. Gunung, bukit, dan lembah yang selama ini sebagai tempat berburu, tempat tumbuh pisang, umbi-umbian, dan makanan hutan lain telah hilang. Lokasi itu telah berubah menjadi terowongan, lubang yang dalam, genangan air, dan longsoran yang mudah terjadi di sejumlah tempat.

    Sementara itu pengusaha emas lari meninggalkan lokasi tersebut tanpa bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi. Mereka telah mengeruk keuntungan besar dari lokasi itu, tetapi tidak pernah berpikir untuk menghijaukan kembali lokasi tersebut. Derita panjang bakal dihadapi masyarakat setempat, termasuk generasi yang akan datang.

    Menyadari dampak yang bakal dihadapi, sejumlah penduduk asli mendatangi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nabire di Nabire. Sejak 2002-April 2005 tercatat lima kali masyarakat Siriwo menyampaikan aspirasi mereka kepada DPRD Nabire. Demonstrasi terakhir terjadi pada 31 Maret 2005. Mereka meminta DPRD setempat memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pemilik hak ulayat terkait pendulangan emas di Siriwo.

    Ketua DPRD Nabire Daniel Butu kemudian memanggil instansi terkait seperti dinas pertambangan dan industri, dinas kehutanan, dan instansi terkait lainnya. Dalam pertemuan itu terungkap bahwa para pengusaha emas itu masuk Siriwo secara liar, tanpa mengantongi izin dari instansi berwenang seperti surat izin penambangan emas (SIPE) sebagaimana tertera di dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 14 Tahun 2003.

    Izin bupati

    Sementara itu, pihak pengusaha mengatakan telah memiliki izin resmi dari Bupati Nabire berupa surat permohonan kepada PT Traveira Air untuk mengoperasikan helikopter di Nabire. Ternyata, surat itu digunakan pengusaha untuk beroperasi di Siriwo.

    Surat itu pula yang selalu ditunjukkan kepada penduduk asli ketika terjadi konflik di lapangan. Butu kemudian meminta agar untuk sementara penerbangan helikopter ke Siriwo ditangguhkan.

    Kepala Suku Besar Siriwo Obeth Tenoye dalam suratnya yang ditujukan kepada para pengusaha di Siriwo antara lain menyebutkan, Perda Nomor 14 Tahun 2003 mewajibkan pengusaha emas melakukan pembayaran hak ulayat, pembayaran pembangunan kampung, retribusi distrik, dan penyetoran sebagai kas negara ke pemda Nabire. Selama ini para pengusaha menerobos masuk tanpa izin dari pemilik dusun.

    Peraturan daerah tersebut menyebutkan, jika tidak memenuhi kewajibannya, pengusaha akan dikenai sanksi kurungan lima bulan penjara atau denda Rp 5 juta. Meski melanggar perda, sanksi tersebut tidak pernah diberikan kepada para pengusaha. Perda itu tidak pernah dilaksanakan dalam praktik di lapangan.

    Para pengusaha tersebut bertindak demikian karena ada oknum aparat keamanan yang berdiri di balik para pengusaha itu. Mereka memberi peluang dan memberi dukungan kepada para pengusaha. Pemerintah daerah setempat pun tidak tegas dalam mengamankan perda itu, kata Tenoye.

    Oleh: KORNELIS KEWA AMA

    (sumber: kompas)

  • Siriwo, Tak Seindah Kilau Emasnya

    Rabu, 13 Juli 2005 - 06:28 AM

    Nabire, Sepuluh helikopter swasta parkir di landasan sebelah barat Bandara Nabire setiap hari antara pukul 12.00-05.00 WIT. Helikopter berkapasitas penumpang 3-13 orang ini dicarter para pengusaha emas Nabire dengan nilai miliaran rupiah untuk mendulang emas di Sungai Degewo, Distrik Siriwo, sekitar 150 km arah selatan Nabire.

    Pengamatan Kompas di Nabire beberapa waktu lalu, helikopter tersebut setiap hari masuk keluar Siriwo membawa pendulang emas, kebutuhan pokok, bahan bakar minyak, dan pengusaha. Harga tiket Rp 3 juta per orang menuju Siriwo, sementara tiket pulang dari Siriwo Rp 1,5 juta per orang. Perjalanan ditempuh 30 menit.

    Tidak mudah bertemu para pengusaha emas di Nabire. Kompas yang berusaha bertemu Marzuki dilarang oleh istrinya yang menjual emas di pasar Oyehee, Nabire. Alasannya, Bapak tidak terima wartawan, kecuali anak buahnya.

    Tidak semua orang boleh ke Siriwo kecuali yang berkepentingan mendulang: menggali, mengayak pasir, dan mengebor tanah, dan hasilnya dijual kepada pengusaha emas.

    Siriwo yang merupakan pemekaran Distrik Napan terdiri dari 34 kampung dengan penduduk asli sekitar 1.700 orang. Di Siriwo terdapat 22 helipad, kios milik pengusaha tersebar di 27 lokasi, mesin pengering air dan pengebor tanah yang disebut alkon 167.000 unit, pendulang yang tidak memiliki kartu dulang 25.000 orang.

    Seruli adalah salah satu dari 15 pengusaha emas di Siriwo. Ia juga menjual kebutuhan pokok. Pria yang ditemui di Hotel Marassi Biak itu mengaku hendak ke Makassar melakukan negosiasi penjualan emas Siriwo. Ia ditawari dana Rp 2 miliar oleh pengusaha emas di Makassar untuk menambang emas di Siriwo. Ia harus bekerja sama dengan pengusaha emas di Nabire, termasuk pemilik tanah ulayat.

    Menurut Seruli, sepanjang aliran Sungai Degewo sekitar 230 km dari hulu ke hilir terdapat potensi emas luar biasa. Kandungan emas 99 persen dengan 24 karat.

    Daerah sepanjang aliran sungai dikapling-kapling oleh para pengusaha. Ada sekitar 34 areal kaplingan dengan luas 20–200 hektar. Misalnya, lokasi Bayubiru, Minibiru, Fambo, Dandim, Koteka, Tugipigeya, Anoga, Damai, Amole, dan lokasi Ninja.

    Marzuki dan Adi Tiarman adalah pemilik lahan emas terbesar di Siriwo dengan luasan 150 hektar dan 200 hektar. Lahan dibeli dari masyarakat adat dengan harga Rp 5 juta-Rp 10 juta per hektar.

    Menurut Seruli, keuntungan pengusaha bisa mencapai Rp 100 miliar per tahun, terutama pengusaha besar. Ini keuntungan bersih, tidak termasuk modal usaha, kontrak helikopter, dan lainnya, katanya.

    Penuh konflik

    Sejarah pendulangan emas di Nabire berawal dari Distrik Topo sekitar 40 km dari Nabire sejak tahun 1994-2002. Berbagai suku pendatang ada di tempat itu, terutama warga Sulawesi Utara, Kalimantan, Bugis, Buton, Maluku, dan Makassar.

    Di Siriwo, awalnya masyarakat diminta mendulang emas kemudian ditukar dengan bahan pokok. Tak ada takaran khusus, hanya ada kesepakatan lisan.

    Sejak pengusaha mulai marak mendatangi Siriwo pada pertengahan tahun 2003, kerap terjadi konflik di lapangan. Misalnya, kasus perampasan 1 kg emas dan uang tunai oleh pemilik hak ulayat dari tangan warga suku Dani (Paniai) yang dinilai menggarap lahan emas tanpa izin. Hampir terjadi perang suku antara para pendulang emas, warga setempat, dengan pemilik hak ulayat.

    Kepala Distrik Siriwo, Marutto, mengeluhkan persoalan yang muncul seputar pendulangan emas. Pendulangan ini sangat rawan dengan konflik.

    Penduduk asli merasa dirugikan oleh pengusaha dari luar yang menguasai lahan pendulangan. Konflik juga terjadi antarpekerja atau antarpengusaha.

    Untuk mencegah konflik, Ketua DPRD Nabire Daniel Butu mendesak pengusaha keluar dari Siriwo. Meski masyarakat butuh kehadiran pengusaha, tetapi perlu diatur sehingga tidak merusak lingkungan, tidak merusak tempat-tempat keramat, dan tidak merugikan masyarakat dari sisi ekonomi, sosial, dan budaya. (KORNELIS KEWA AMA)

    (sumber: kompas)

  • Mahasiswa Papua Ancam Nginap di Depdagri

    Jum'at, 24 Juni 2005 - 06:23 AM

    Jakarta, Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Papua se-Indonesia dalam aksi demonya di Jakarta, Kamis, berhasil masuk ke dalam areal Departemen Dalam Negeri, dan mengancam menginap di Depdagri jika pemerintah tidak membebastugaskan sementara para pejabat Papua yang dituding terlibat korupsi.
    Delegasi mahasiswa Papua itu diterima Sekjen Depdagri Progo Nurdjaman, dan terjadi dialog yang panas yang diwarnai ancaman bermalam di Kantor Depdagri. Sementara itu, para mahasiswa Papua lainnya tetap melakukan orasi di halaman depan Depdagri, tempat masuk ke ruang kerja Mendagri.
    Delegasi mahasiswa itu meminta pemerintah pusat membebaskan sementara para pejabat yang terlibat korupsi dari jabatannya, serta adanya komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi dalam wujud nyata.

    Mereka menyebutkan aksi mereka itu bukan sebagai bentuk gerakan separatisme, namun sebagai Warga Negara Indonesia, aksi itu merupakan dukungan moral kepada pemerintah untuk memberantas korupsi di daerah Papua.

    Selain itu, mereka juga meminta KPK tidak diskriminatif dalam memberatas korupsi di Papua.
    Sementara itu, aparat kepolisian yang dipimpin Kapolres Jakarta Pusat, Kombes S Dahlan, melakukan penjagaan ketat di halaman Depdagri.

    Menurut Progo, DPRD Papua seharusnya bertindak dalam mengatasi korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah di Papua.

    Dalam siaran persnya, Ketua KP BE Mahasiswa Papua se- Indonesia, Yan Matuan, menyebutkan para pejabat Papua yang tercatat dalam KPK melakukan korupsi di antaranya adalah Gubernur Papua JP Salossa, Bupati Jaya Wijaya David Huby, dan Bupati Nabire AP Youw.

    Ia juga menyebutkan militer diperlukan namun bukan militerisme, dan Papua dikembalikan bentuk semula, yakni satu provinsi.

    (sumber: media indonesia)

  • RAPERDASI MRP TUNTAS

    Jum'at, 24 Juni 2005 - 06:20 AM



    Jayapura, Rancangan Peraturan Provinsi (Perdasi) Papua tentang tata cara pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP)akhirnya tuntas dibahas pihak eksekutif dan Tim Pansus MRP DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) selama dua hari ini di Hotel Matoa Jayapura.

    Isi Raperdasi yang berhasil dirumuskan tersebut, terdiri dari 10 Bab, 28 Pasal, 101 Ayat dan 1 peraturan ketentuan peralihan. Bab I memuat ketentuan umum yang tediri dari dua pasal, kemudian Bab II memuap ketentuan tentang keanggotaan yang terdiri dari satu pasal. Bab III mengatur tentang hak memilih dan dipilih yang terdiri dari dua pasal. Bab IV memuat tentang panitia pemilihan yang terdiri dari Panitia Pemilihan dan Panitia Pengawas. Di Bab V mengatur tentang pemilihan anggota MRP yang terdiri dari dua pasal, Bab VI memuat ketentuan tentang pencalonan yang terdiri dari persyaratan calon, tata cara pencalonan serta penelitian dan penetapan calon.

    Bab VII tentang tata cara pemilihan yang terdiri dari bagian pertama tentang tahapan pemilihan dan tahapan penetapan hasil pemilihan. Sementara Bab VIII tentang pelantikan, Bab IX mengenai pembiayaan dan Bab X tentang ketentuan penutup yang terdiri dari dua pasal. " Kami akan segera melaporkan sekaligus mempresentasikan hasil tersebut di rapat Panmus yang akan dihadiri seluruh anggota Panmus, pimpinan Fraksi, Komisi-Komisi dewan dan seluruh ketua-ketua Pansus. Jika diterima maka kita segera mengagendakan sidang paripurna untuk pembahasan Raperdasi ini," ujar Ketua Pansus MRP DPRP Papua Abdul Hakim Ahmad kepada wartawan kemarin.

    Dijelaskannya, pembahasan Raperdasi yang hangat saat itu adalah tentang hak memilih dan dipilih. Khusus untuk masyarakat menurutnya jelas diatur sangat baik, namun untuk masyarakat perempuan adalah seluruh masyarakat Papua. " Kita menginginkan untuk pertama kali diberikan kesempatan dipilih saja oleh masyarakat perempuan Papua. Kita harapkan nanti setelah terbentuknya MRP mereka akan melihat kembali peraturan ini sehingga hak memilih bisa dilakukan oleh seluruh perempuan Papua" katanya.

    Sementara tentang siapa yang berhak dipilih, dijelaskan Abdul Hakim Ahmad tetap akan diatur dan disesuaikan dengan Undang-undang Otsus No.21 tahun 2001 dan PP 54 tahun 2001.

    Terkait dengan daerah pemilihan akhirnya disepakati pembagian tujuh wilayah budaya yaitu daerah Doberay (Papua Barat), Saireri (Papua Utara), Lapago (Papua Tengah Timur), Tabi (Papua Timur), Ha Anim (Papua Selatan), Me Pago (Papua Tengah Barat), dan Bomberay (Papua Barat Daya). Wilayah Doberay terdiri dari Kabupaten Raja Ampat, Kota Sorong menjadi satu daerah pemilihan (Dapil I) , kemudian Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Sorong dan Manokwari menjadi satu daerah pemilihan (Dapil II). Masih di daerah yang sama Kabupaten Bintuni dan teluk Wondama bergabung menjadi satu daerah pemilihan (Dapil III). " Dengan tiga daerah pemilihan mereka berhak mengirimkan enam orang wakil karena masing-masing daerah pemilihan diwakilkan dua orang," jelasnya. Untuk wilayah budaya Saireri terdapat Kabupaten Supiori, Biak Numfor dalam satu daerah pemilihan (Dapil IV), kemudian Kabupaten Waropen dan Yapen Waropen dijadikan satu lagi (Dapil V). La Pago terdiri dari daerah pemilihan VI adalah Kabupaten Jayawijaya dan Tolikara (Dapil VI), Kabupaten Yahukimo dan Pegunungan Bintang (Dapil VII). Untuk Tabi terdiri dari Kota Jayapura dan Keerom (Dapil VIII), Kabupaten Jayapura dan Sarmi (Dapil IX). Wilayah budaya Ha-Anim masing-masing Kabupaten Merauke dan Bofen Digul (Dapil X), sementara Kabupaten Asmat dan Mapi (Dapil XI). Wilayah Bomberai Kabupaten Fakfak dan Kaimana (Dapil XII), kemudian Kabupaten Mimika dan Puncak Jaya (Dapil XIII). Wilayah Mepago terdairi dari Kabupaten Nabire dan Paniai (Dapil XIV).

    Berdasarkan hail tersebut, pihaknya juga tela menyusun kalender kegiatan antara lain pada tanggal 30 Juli Perdasi tentang tata cara pemilihan anggota MRP dapat disahkan, kemudian pada tanggal 4-6 Juli sosialiasasi tingkat Provinsi, 7-8 Juli sosialisasi tingkat Distrik, 9-10 Juli sosialiasasi tingkat Kabupaten/Kota, 11 Juli rapat Muspida, 15-22 Juli pembentukan Panitia Pemilihan (Panpil), Panitia Pengawas (Panwas) tingkat Distrik, Kabupaten/Kota hingga Provinsi. Pada tanggal 29 Juli hingga 4 Agustus pendaftaran calon anggota MRP dan persyaratan pemilihan, 5 Agustus pemilihan tingkat Distrik yang akan berlangsung selama 14 hari. Setelah itu pada tanggal 26 Agustus penetapan anggota MRP terpilih dan pada tanggal 2 September pelantikan anggota terpilih. (nce)

    Sementara itu Wagub Papua drh. Constan Karma saat dimintai tanggapannya soal hasil pembahasan draf Perdasi tentang tata cara pemilihan anggota MRP antara tim Pansus MRP yang dibentuk DPRP dengan eksekutif, mengaku sangat menyambut baik upaya dan kerja keras yang dilakukannya selama ini dalam rangka merampung pembahasan draf Perdasi. "Meski ada perbedaan pandangan atau konsep antara pemerintah dengan tim Pansus DPRP soal pembagian wilayah pemilihan, tapi ternyata perbedaan konsep itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap subtansi dari pembentukan MRP itu sendiri. Ini menandakan bahwa baik dari DPRP maupun pemerintah ada niat baik untuk segera merampungkan Perdasi, sehingga MRP dapat segera dibentuknya," ujarnya kepada Cenderawasih Pos di Gedung DPRP, kemarin.

    Dikatakan Wagub, justru untuk mencari titik temu tentang pembagian wilayah pemilihan anggota MRP yang diusulkan pemerintah maupun dari tim pansus DPRP, semuanya telah diakomodir dalam pembahasan draf Perdasi. Sebab konsep yang diusulkan baik oleh pemerintah maupun tim Pansus DPRP itu, memang ada pertimbangan tersendiri.

    " Kalau usulan 7 pembagian wilayah pemilihan yang diusulkan tim Pansus DPRP itu didasarkan atas wilayah budaya/adat besar. Sedangkan 14 wilayah pemilihan yang diusulkan pemerintah itu berdasarkan sejarah adminitrasi pemerintahan, Sosbud dan geografis. Sehingga untuk mengakomodir itu semua, akhirnya kedua usulan pembagian wilayah itu diadobsi atau dikolaborasikan," paparnya.

    Dengan demikian, maka dalam pembagian 7 wilayah pemilihan itu, satu wilayah budaya terdiri dari beberapa wilayah pemilihan atau dua daerah pemilihan. Namun yang terpenting bahwa pembagian wilayah itu hanyalah sebagai alat untuk proses penjaringan atau pemilihan keanggotaan MRP.

    " Sebab anggota MRP itu bukanlah wakil dari masing-masing wilayah atau suku, melainkan sebuah lembaga representatif culture masyarakat Papua. Sehingga pembagian wilayah pemilihan anggota MRP itu bukan bentuk justifikasi anggota MRP, melainkan hanya sebagai alat untuk proses rekruitmen keanggotaan MRP," tandasnya. (nce/mud)

    (sumber: cepos)